RAMADHAN WAHANA PENEMUAN JATI DIRI
KHUTBAH JUM’AT
RAMADHAN WAHANA PENEMUAN JATI DIRI
Oleh : Anis Purwanto
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًا مُرْشِدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَي حَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا وَمَوْلَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأصَحابهِ اْلأَخْيَارِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
قَالَ تَعَالَي عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. أَمَّا بَعْدُ.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Segala puji atas limpahan karunia Allah SWT yang tak pernah habis-habisnya kita rasakan dan nikmati. Sebagai ungkapan rasa syukur kita, marilah kita perbaiki hubungan kita dengan Allah SWT dengan meningkatkan kualitas iman dan taqwa, menjadikan setiap gerak dan langkah kita mencari keridhoaan Allah SWT semata. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad SAW, teladan umat semesta dan panutan dalam merealisasikan keimanan dan ketaqwaan kepada allah SWT.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Ramadhan yang selalu hadir di tiap tahun merupakan wahana penting bagi relaksasi atau pengenduran otot-otot kita yang terus menerus tegang dalam kesibukan keseharian, mengejar kehidupan dunia yang tiada habis-habisnya. Ramadhan harus kita jadikan momen awal bagi upaya pencarian jati diri, bahwa kita adalah mahkluk Tuhan yang sering kali lupa bahwa disamping memiliki kewajiban duniawiyah, juga memiliki kewajiban ruhiyah dan ukhrawiyah yang tidak kalah penting. Oleh karena , mari kita manfaatkan moment Ramadhan untuk terus memacu diri, mendekatkan diri sedekat mungkin kepada sang khaliq.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Inti dari ibadah puasa menurut sebagaian besar Ulama adalah menahan diri dari nafsu yang seringkali mengajak manusia ke jalan keburukan dan kemungkaran. Nafsu pada diri manusia pada hakekatnya merupakan potensi yang dapat diarahkan menuju kebaikan. Ibarat seekor kuda liar, nafsu dapat dilatih dan dikendalikan, sehingga ia bisa berubah menjadi kekuatan luar biasa bagi dinamika kehidupan disegala lini. Namun apabila dibiarkan tanpa ada upaya pengendalian, nafsu akan menjadi binatang buas, liar dan serakah, bahkan untuk mempertahankan diri terkadang harus menyakiti bahkan membunuh musuh-musuhnya. Setiap jengkal kekauasaan akan dipertahankan dengan sekuat tenaga dan segala cara. Jadilah sebuah komonitas umat, menjadi barbarian yang selalu mengagungkan hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang dan berkuasa. Dalam kondisi demikian, anjloklah derajat kemanusiaan menjadi apa yang disebutkan oleh Allah :
أَمۡ تَحۡسَبُ أَنَّ أَڪۡثَرَهُمۡ يَسۡمَعُونَ أَوۡ يَعۡقِلُونَۚ إِنۡ هُمۡ إِلَّا كَٱلۡأَنۡعَـٰمِۖ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّ سَبِيلاً
“atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya”. (QS. Al Furqon: 44).
Sebab disadari atau tidak, sesungguhnya pada saat kita memilih untuk menjadikan hawa nafsu sebagai pemimpin langkah kita, maka kita baru saja terjebak pada sebuah perjalanan yang melelahkan. Ibarat meminum air garam di tengah kehausan yang sangat, semakin banyak minum semakin hauslah kita, itulah hawa nafsu. Semakin kita mengejar dunia semakin jauh ia meninggalkan kita dan semakin terlunta-lunta dalam pengejaran yang tiada pangkal ujungnya. Allah telah berfirman :
فَأَمَّا مَن طَغَىٰ (٣٧) وَءَاثَرَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا (٣٨) فَإِنَّ ٱلۡجَحِيمَ هِىَ ٱلۡمَأۡوَىٰ (٣٩) وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ (٤٠) فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِىَ ٱلۡمَأۡوَىٰ (٤١)
“Adapun orang yang melampui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”. (QS. An-Naazi’aat :37-41).
Bila demikian keadaannya, jangan harap kebijaksanaan akan tercipta, dan yang pasti kedamaian, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran yang menjadi tujuan semua umat manusia, hanya akan menjadi mimpi dan angan-angan belaka. Dalam konteks demikian, puasa sebenarnya merupakan sebuah sarana bagi seorang muslim untuk mengadakan riyadhah batiniyah (latihan batin) , sekaligus rihlah ruhiyah (wisata ruh) tahunan yang diharapkan mampu mengembalikan, menyegarkan, dan menata kembali kecondongan batin kita yang seringkali hampir-hampir terpeleset karena godaan hawa nafsu.
Puasa juga merupakan ibadah khusus yang memiliki nilai-nilai vertkal dan horizontal sekaligus. Secara vertical puasa merupakan sebuah ibadah yang menunjukkan ketundukan tanpa perlawanan diri seorang hamba kepada khaliqnya. Betapa tidak, seharian penuh yang biasanya kita kenyang dengan makan dan minum, pada ramadhan kita diperintahkan untuk menahan diri secara ihklas dari makan, minum, dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang. Sedikit saja hati kita tidak ihklas, maka kita akan kehilangan jaminan pahala dari Allah SWT :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa dengan didasari keimanan dan keihklasan maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau”. (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Keihklasan ini perlu kita tekankan, karena sebenarnya letak hakekat puasa, tidak sekedar terdapat kemauan kita untuk berlapar-lapar semata, tetapi terletak pada bagaimana kita mengejawantahkan ibadah ini sebagai wujud ketaatan kita yang tulus kepada sang Kholiq. Dan secara horizontal, puasa melatih dan memupuk hati agar tumbuh didalamnya bunga-bunga sosial, yang kelak akan menggugah kesadaran, untuk menolong sesama, mengingat bahwa secara naluriah manusia merupakan mahkluk sosial. Hal ini penting, untuk menegaskan bahwa agama tidaklah selalu identik dengan ritual-ritual vertical yang hanya memiliki akses pada kehidupan sesudah mati, tetapi lebih dari itu, agama juga merupakan aturan sosial yang mengatur setiap sisi hidup manusia dengan segala tetek bengeknya.
Ma’asyiral Muslimin jamaah jum’ah rokhimakumullah.
Disamping keuntungan-keuntungan di atas, puasa yang dilaksanakan secara ihklas juga memiliki efek luar biasa bagi terbentuknya muslim sejati. Tujuan puasa sendiri, tercantun secara impliit dala Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 :
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِڪُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.
Taqwa yang merupakan titik teratas tujuan puasa, merupakan derajat tertinggi martabat manusia. Kualitas sebuah pribadi menurut Allah tergantung dari seberapa tinggi kualitas taqwa yang ada dalam pribadi tersebut. Kualitas puasa yang akan kita jalani nanti, akan menentukan kualitas ketaqwaan kita kepada Allah SWT, sehingga akhirnya semua kembali berpulang kepada kita, bagaimana kita dapat mengatur hati kita agar puasa kita menjadi puasa yang benar-bernar berkualitas.
Oleh sebab itu, senyampang waktu masih ada, saat berbenah diri masih membentang dihadapan kita, marilah kita manfaatkan bulan puasa ini sebagai wahana penempaan diri menuju manusia yang lebih baik. Kecenderungan sebagian masyarakat yang keliru dalam mengartikan dan memberi arah perjalanan hidup ini harus kita perbaiki selama bulan Ramadhan. Jangan sampai di akhir puasa nanti kita menyesal karena tidak mampu memanfaatkan saat-saat indah selama bulan Ramadhan untuk beribadah secara maksimal kepada Allah SWT. Maka alangkah baiknya jika bulan Ramadhan kita jadikan moment untuk menemukan jati diri sebagai bangsa yang beradab.
Akhirnya, berkaca dari pengamalan Ramadhan tahun lalu, adalah merupakan kunci pembuka bagi lahirnya fajar kemenangan dibulan suci Ramadhan. Menang atau kalah saat kita berperang melawan hawa nafsu sangat bergantung dari kemampuan kita menata hati dan itu akan sangat menentukan apakah puasa kita akan memberi bekas bagi kehidupan kita selanjutnya atau sekedar menjadi beban perut atas kelaparan yang kita derita. Semoga Allah SWT senantiasa memberi ridha dan petunjuknya atas setiap usaha kita untuk meraih kemuliaan hidup..Bahagia di dunia dan di akhirat. Amin ya rabbal ‘alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Komentar
Posting Komentar