AKTUALISASI NILAI-NILAI ISRA’ MI’RAJ

 

 

KHUTBAH JUM’AT

AKTUALISASI NILAI-NILAI ISRA’ MI’RAJ

DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MULTIKULTURAL

Ed. : ANIS PURWANTO

 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًا مُرْشِدًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَي حَبِيْبِنَا وَشَفِيْعِنَا وَمَوْلَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأصَحابهِ اْلأَخْيَارِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

قَالَ تَعَالَي عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral Muslimin jamaah Jum’ah rokhimakumullah.

Syukur merupakan wujud nyata keikhlasan hati kita dalam menerima qada’ dan iradah Allah SWT. Keihklasan semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai derajad keimanan dan ketaqwaan yang tinggi. Manusia semacam inilah sesungguhnya potret muslim sejati, yang peduli terhadap pentingnya kesalehan hubungan kepada Allah SWT (hablum minallah) dan kepada sesama manusia (hamlum minannas). Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah peradaban umat Islam adalah perjalanan Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai yang terpancar dari peristiwa tersebut tetap saja akan aktual sepanjang zaman. Wajar, jika kemudian peristiwa Isra’ Mi’raj itu selalu diperingati oleh umat Islam dan dijadikan momentum untuk mengktualisasikan kembali nilai-nilai yang tekandung di dalamnya. Terlebih sekarang ini kita telah digoncang oleh sederet praktik de-moralisasi di dalam masyarakat.

Ma’asyiral Muslimin Jamaah Jum’ah rokhimakumullah.

            Karenanya, kini dalam khutbah singkat kali ini perkenankan kami mengungkap kembali peristiwa tersebut, sebagai upaya peng-aktualisasikan nilai-nilai yang terkandung didalam Isra’ Mi’raj dalam konteks kehidupan yang multikultural, karena senyatanya Isra’ mi’raj itu benar-benar terjadi dan memang dikehendaki oleh Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan didalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 1 :

سبحان الذي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

   Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami, sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar”

Saudara, Hemat kami, paling tidak ada empat nilai yang fundamental yang penting dari peristiwa tersebut, yaitu: Pertama,peristiwa Isra’, -yang berarti perjalanan Nabi Muhammad Saw malam hari dari Masjidil Haram Mekah ke Masjil Aqsha Palistina-, memberikan isyarat bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial-horisontal. Di situ, perjalanan Nabi Saw masih bersifat horisontal dari bumi ke bumi, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni masjid al-Haram Makkah ke Masjid al-Aqsha Palestina. Maka, mestinya masjid sebagai simbol sentra kegiatan dan keberagamaan umat Islam harus ditransformasikan kedalam kehidupan sosial. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial yang harmonis di tengah kehidupan global yang serba kompetitif. Bukankah al-dîn mu’amalah?. Artinya, bukankah agama itu salah satu intinya adalah bagaimana seseorang bisa berinteraksi secara baik dengan sesama.

Di samping itu, perjalanan isra’ Nabi Saw dari Masjidil Haram Mekah ke Masjil Aqsha Palistina juga memberi isyarat bahwa mestinya antara masjid satu dengan masjid yang lain, harus ada sinergi dan harmoni dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan. Jangan sampai masjid justru dijadikan upaya untuk membentuk idiologi sektoral yang sempit, yang justru merusak ukhuwwah umat Islam. Misalnya, dengan mudah orang lalu mengkafirkan, atau mem-bid’ahkan terhadap kelompok lain yang berbeda, apalagi untuk menanamkan ideologi “keislaman sempit” . Mestinya kita ini semakin “Islami”, semakin cinta sesama, bahkan semakin cinta Indonesia. We are moslem-Indonesian, and Indonesian-Moslem.

Kedua, peristiwa mi’raj, di mana Nabi Saw kemudian naik ke Sidratul Muntaha, berjumpa dengan Allah Swt. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bahwa manusia harus melakukan “transedensi”, dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga terhindar dari jebakan kehidupan materialisme, yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, sehingga melakukan tindakan pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.

Sebagai makhluk homo religius, manusia harus mampu membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Kasih dan sumber kebaikan, harus kita terjemahkan dalam kehidupan aktual sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus tetap kita perjuangkan, untuk melawan segala bentuk demoralisasi.

Ketiga, setelah Nabi Muhammad menjalani mi’raj (naik) keatas, beliau berjumpa denganTuhan, sebuah pengalaman spiritual yang sangat indah. Namun luar biasa, Nabi Saw kemudian masih mau turun kembali untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada umatnya, demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi Saw itu orang yang egois, niscaya beliau enggan turun lagi ke bumi. Bukankah saat itu Nabi Saw telah berada dalam puncak kenikmatan spiritual yang sangat indah? Sebuah pertemuan antara al-habib (pencinta) dan al-mahbub (kekasih) yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu cermin bahwa beliau adalah manusia paripurna (insan kamil) dan seorang sufi yang otentik, yang bukan hanya shalih ( baik pribadinya), tetapi juga mushlih yaknii (membuat orang lain jadi baik).

Peristiwa itu juga memberi pelajaran penting bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual semu. Sebab kesalehan yang otentik adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang, antara dirinya denganTuhan (hablun min Allah),dan dirinya dengan sesama manusia (hablum min al-nas), termasuk alam lingkungansekitarnya .

Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama. Demikian sabda Nabi. Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat yang demikian iitu sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 4-5 :

فَوَيۡلٌ۬ لِّلۡمُصَلِّينَ (٤) ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ (٥)

 “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”.

 Sifat terpenting yang terkandung  didalam shalat adalah adanya pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat, kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya.                Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. Amin ya rabbal ‘alamin.

 بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHUTBAH IDUL ADHA BAHASA JAWA 1445 H / 2024 M

KHUTBAH IDUL FITRI BAHASA JAWA 1445 H/2024M

KHUTBAH JUM’AT MENYAMBUT TANGGAL 1 MUHARAM 1447 H : HIJRIYAH UNTUK KITA SEMUA